Ada
petaka besar disertai penyakit ganas yang akan menyerang kampung pada
hari itu juga. Karenanya, sebelum matahari terbit pada hari rabu
terakhir Bulan Safar menurut penanggalan bulan, seluruh warga di kampung
itu diwajibkan mandi bersama di pantai terdekat untuk menolak petaka
itu.
Prosesi mandi bersama itu adalah salah satu rangkaian ritual adat Rebo Buntung yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Sasak Desa Pringgabaya, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, setiap tahun pada hari rabu terakhir bulan Safar tahun Qomariyah (bulan).
Secara bahasa, Rebo Buntung bermakna hari rabu yang terputus, dikarenakan hari tersebut berada diantara dua bulan yakni Safar dan Rabiul Awal (bulan maulid nabi). Buntung juga dimaknai buruk yakni petaka. Diyakini segala macam penyakit akan menyerang kampung pada hari itu. Warga harus mandi di pantai sebelum matahari terbit jika tidak ingin kena bala’. Orang tua, anak, laki-laki, perempuan, berbaur membasuh badan mereka.
“Kami tidak sepakat jika Rebo Buntung dimaknai sebagai tradisi mandi safar seperti yang dilakukan masyarakat Sasak Lombok lainnya,” ungkap Lalu Mugis Kamajaya,salah seorang tokoh adat setempat.
Sebagian besar masyarakat Sasak Lombok memang melaksanakan tradisi mandi safar pada hari yang sama. Di desa Kuranji, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, sebagian besar warganya menyerbu pantai untuk mandi bersama. Mereka yang tinggal di perkotaan, mandi safar dilakukan di sungai-sungai terdekat.
Ritual Rebu Buntung dimulai dengan prosesi membawa kepala hewan persembahan dan sesajian ke pantai dengan diiringi beragam tetabuhan. Di Pantai, para tetua adat memberikan jampi-jampi dan do’a agar Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan selama ritual. Selanjutnya kepala hewan yang oleh warga setempat dinamakan sarat itu dilarung ke laut sebagai persembahan agung kepada sang penguasa laut.
“ Kami percaya jika kepala hewan yang telah kami persembahkan itu tidak muncul ke permukaan , berarti diterima. Kalau muncul lagi, kami harus mengumumkan ke masyarakat bahwa akan ada bala yang sewaktu-waktu menimpa kampung kami. Tapi Alhamdulillah, tahun ini persembahan kami diterima,” ungkap Lalu Mugis.
Masyarakat Pringgabaya yang mayoritas nelayan telah menggelar ritual ini secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Hingga kini, ritual Rebo Buntung telah ditetapkan sebagai agenda wisata tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Ribuan wisatawan terlihat datang menyaksikan setiap tahunnya.
Menjaga keseimbangan alam
Banyaknya bencana alam akhir-akhir ini adalah akibat dari ketidakseimbangan alam. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberikan misi besar sudah tidak lagi memperhatikan keseimbangan itu. Mereka merusak tanpa pernah berfikir untuk memperbaiki. Alam tidak lagi dianggap sebagai sumber kehidupan penting yang karenanya harus dimuliakan, dipuja sekaligus disakralkan. Alam lebih diartikan sebagai lading eskploitasi yang mendatangkan keuntungan besar.
Masyarakat nelayan Pringgabaya juga menyadari itu. Mereka bersedih sebab pada tahun-tahun terakhir jumlah tangkapan ikan mereka menurun drastis. Sebagian mereka menuding bahwa turunnya hasil tangkapan disebabkan oleh limbah tailing sebuah perusahaan tambang besar yang beroperasi di pulau seberang kampung mereka. Sebagian juga meyakini penangkapan ikan menggunakan bahan-bahan peledak oleh oknum nelayan tertentu, menjadi penyebab utama.
“ Apapun alasannya, sebagian kita memang sudah tidak lagi menghargai alam ini. Karenanya, ritual Rebo Buntung juga adalah semacam refleksi bersama perlunya keserasian antara manusia dan alamnya,” ungkap Mugis
Prosesi mandi bersama itu adalah salah satu rangkaian ritual adat Rebo Buntung yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Sasak Desa Pringgabaya, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, setiap tahun pada hari rabu terakhir bulan Safar tahun Qomariyah (bulan).
Secara bahasa, Rebo Buntung bermakna hari rabu yang terputus, dikarenakan hari tersebut berada diantara dua bulan yakni Safar dan Rabiul Awal (bulan maulid nabi). Buntung juga dimaknai buruk yakni petaka. Diyakini segala macam penyakit akan menyerang kampung pada hari itu. Warga harus mandi di pantai sebelum matahari terbit jika tidak ingin kena bala’. Orang tua, anak, laki-laki, perempuan, berbaur membasuh badan mereka.
“Kami tidak sepakat jika Rebo Buntung dimaknai sebagai tradisi mandi safar seperti yang dilakukan masyarakat Sasak Lombok lainnya,” ungkap Lalu Mugis Kamajaya,salah seorang tokoh adat setempat.
Sebagian besar masyarakat Sasak Lombok memang melaksanakan tradisi mandi safar pada hari yang sama. Di desa Kuranji, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, sebagian besar warganya menyerbu pantai untuk mandi bersama. Mereka yang tinggal di perkotaan, mandi safar dilakukan di sungai-sungai terdekat.
Ritual Rebu Buntung dimulai dengan prosesi membawa kepala hewan persembahan dan sesajian ke pantai dengan diiringi beragam tetabuhan. Di Pantai, para tetua adat memberikan jampi-jampi dan do’a agar Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan selama ritual. Selanjutnya kepala hewan yang oleh warga setempat dinamakan sarat itu dilarung ke laut sebagai persembahan agung kepada sang penguasa laut.
“ Kami percaya jika kepala hewan yang telah kami persembahkan itu tidak muncul ke permukaan , berarti diterima. Kalau muncul lagi, kami harus mengumumkan ke masyarakat bahwa akan ada bala yang sewaktu-waktu menimpa kampung kami. Tapi Alhamdulillah, tahun ini persembahan kami diterima,” ungkap Lalu Mugis.
Masyarakat Pringgabaya yang mayoritas nelayan telah menggelar ritual ini secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Hingga kini, ritual Rebo Buntung telah ditetapkan sebagai agenda wisata tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Ribuan wisatawan terlihat datang menyaksikan setiap tahunnya.
Menjaga keseimbangan alam
Banyaknya bencana alam akhir-akhir ini adalah akibat dari ketidakseimbangan alam. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberikan misi besar sudah tidak lagi memperhatikan keseimbangan itu. Mereka merusak tanpa pernah berfikir untuk memperbaiki. Alam tidak lagi dianggap sebagai sumber kehidupan penting yang karenanya harus dimuliakan, dipuja sekaligus disakralkan. Alam lebih diartikan sebagai lading eskploitasi yang mendatangkan keuntungan besar.
Masyarakat nelayan Pringgabaya juga menyadari itu. Mereka bersedih sebab pada tahun-tahun terakhir jumlah tangkapan ikan mereka menurun drastis. Sebagian mereka menuding bahwa turunnya hasil tangkapan disebabkan oleh limbah tailing sebuah perusahaan tambang besar yang beroperasi di pulau seberang kampung mereka. Sebagian juga meyakini penangkapan ikan menggunakan bahan-bahan peledak oleh oknum nelayan tertentu, menjadi penyebab utama.
“ Apapun alasannya, sebagian kita memang sudah tidak lagi menghargai alam ini. Karenanya, ritual Rebo Buntung juga adalah semacam refleksi bersama perlunya keserasian antara manusia dan alamnya,” ungkap Mugis
Sumber : http://www.berita2.com/daerah/ntb/8679-ritual-adat-rebo-buntung-cara-orang-sasak-menjaga-laut.html
0 comments:
Posting Komentar