Rabu, 22 Desember 2010

Filled Under:

Kehangatan Orang-orang Kampung Melayu di Makassar


:: Sammy Lee ::

Salah satu sudut kota Makassar tempo dulu.
Foto: Istimewa.


Citizen reporter Sammy Lee, warga Makassar yang kini menetap di Sydney, Australia, memiliki banyak kenangan tentang suasana kota ini di sekitar tahun 1950-an. Salah satu yang dikenangnya adalah keakraban warga Kampung Melayu di tengah kota Makassar. Berikut petikan kenangannya. (p!)

 
Saya besar di Kampung Melayu dan bersekolah di SD Frater Mamajang. Bagi saya, Kampung Melayu dan warganya adalah tempat terbaik yang membuat saya menikmati masa kecil yang begitu manis di Makassar.

Di tahun 1950-an, banyak kawasan yang masih dikenal lekat dengan nama Belanda. Bahkan salah satu kawasan yang saya ingat, dulu disebut sebagai "Kampung Balanda", yakni di Jalan Sawerigading dan sekitarnya. Ini tentu tidak lepas dari sejarah pendudukan Belanda di Makassar, di mana pusat kota yang menjadi tempat tinggal para pejabat pemerintah Belanda di masa penjajahan.

Mengenai nama-nama tempat yang berbahasa Belanda, tentunya masih lekat dalam ingatan saya dan teman-teman sepermainan. Di tahun 1950-an, nama-nama itu masih sering disebut untuk menjelaskan alamat, meski nama resminya telah berubah setelah Indonesia merdeka.

Jalan Gunung Bawakaraeng yang kita kenal sekarang ini, dulunya disebut sebagai Maros Weg atau Jalan Maros. Konon, nama ini merujuk bahwa jalan poros inilah yang membentang hingga Kabupaten Maros. Artinya, bila ingin ke Maros, ya memang harus lewat jalan itu.

Suasana Makassar di awal 1950-an sangat jauh berbeda dengan Makassar yang sekarang. Jalan-jalannya bersih dan rindang. Tata kota begitu teratur dan asri, sehingga warga kota betul-betul menikmati apa yang disebut jalan-jalan keliling kota. Saya dan teman-teman selalu bersepeda berkeliling kota. Sementara untuk jalan-jalan ke luar kota, seorang paman saya biasanya menyewa taksi berupa mobil station wagon, yang dulu sering mangkal di sudut Tronk Weg (kini Jalan Nusakambangan). O,ya kata “tronk” dalam bahasa Belanda inilah yang diadaptasi menjadi “tarunku” alias penjara, dalam bahasa setempat.

Di masa penjajahan, ayah saya bekerja di Publik Openbaru Werkdienste, yakni Departemen Pekerjaan Umum di masa itu. Awalnya kami tinggal di Jalan Matjiniajo, kemudian pindah ke Konings Laan (sekarang disebut sebagai Jalan Sawerigading).

Sahabat saya, Sabir Syiwu (sekarang dokter ahli jiwa terkenal di Makassar –ed), adalah teman perjalanan setia pulang pergi ke SD Frater Mamajang. Kami selalu berboncengan naik sepeda dari Kampung Melayu ke Mamajang. Setiap hari saya bermain ke rumahnya. Yang paling terkenang adalah suasana kekeluargaan dengan para tetangga. Di depan rumah Sabir Syiwu, terdapat pabrik kecap, pemiliknya kami panggil “Ance Keca`”. Hampir tiap hari kami makan rujak dengan bumbu yang berupa kecap, tauco dan gula merah, yang disubdisi dari pabrik kecap itu. Sebagai imbalannya, kami selalu membantu Ance Keca’ menutupi tempayan-tempayan kecap dan tauconya kalau tiba-tiba turun hujan.

Ance Keca’ juga mengajari kami gerakan-gerakan Kungfu, yang dipelajarinya di Tiongkok. Dan di depan pabrik kecap itu pulalah kami belajar menjadi pengusaha kecil, dengan menjual rokok. Kami membuat rak kecil dari kayu bekas peti sabun dan memasangnya di depan pabrik kecap. Pelanggan kami, orang-orang yang lewat di depan pabrik kecap.

Waktu sekolah di Mamajang, kami hanya dapat uang saku 30 sen tiap hari, dan setiap jam istirahat kami berlomba-lomba mencari tempat duduk di bangku panjang di warung seberang sekolah untuk makan ubi goreng, pisang goreng, bakara’ (sukun) goreng, atau jagung bakar dengan sambal yang hanya dibuat dari garam, cabe dan jeruk peras. Ditambah dengan secangkir teh manis, jadilah menu ini membuat kami serasa makan di restoran yang paling top di dunia!

Di kampung Melayu itu di samping rumah keluarga Sabir Syiwu ada sebuah warung yang menjual buah-buahan, gula-gula dan juga kalau sedang musimnya, pemiliknya, Daeng Coni, menjual layang-layang buatannya sendiri. Orangnya kecil dan bongkok. Tapi kami sangat senang kepadanya, karena ia pandai bercerita. Ia selalu tersenyum dengan ramah dan kami adalah sambalu’na yang paling setia. Dia juga ahli membuat gasing dari kayu jambu.

Di samping warung Daeng Coni ada toko kecil, atau mungkin lebih tepat dikatakan warung besar. Pemiliknya kami panggil "Ance Pocci'", sebab dia tiap hari hanya pake singlet dan celana kolor, dan selalu singletnya dilipat keatas sehingga kelihatan pocci’ atau pusarnya. Kami selalu mengganggu Ance Pocci' bila disuruh membeli sesuatu di tokonya oleh orang tua kami. Kalau kami beli banyak barang, biasanya Ance Poci memberi bonus gula-gula yang berbentuk persis seperti cabe, berwarna merah dengan batang kayu pada ujungnya seperti es krim.

Yang paling terkenang adalah betapa warga hidup dengan kekeluargaan yang kental, kehidupan gotong royong sangat terasa. Anak-anak kecil terbiasa membantu orang-orang dewasa yang menjalankan usahanya, seperti kami yang membantu Ance Keca’ bila turun hujan, untuk mengamankan tauco dan kecapnya. Sebaliknya, orang-orang dewasa pun sangat menghargai anak-anak. Mereka tak jarang memberi kami hadiah permen bila kami membantu pekerjaan mereka, atau bersikap manis saat belanja di toko mereka. (p!)

*Citizen reporter Sammy Lee dapat dihubungi melalui email sambrenda_lee@yahoo.com.au




0 comments:

Posting Komentar