Pemerintah
SBY telah dituding berbohong oleh sejumlah tokoh agama. Mereka
menilai sejumlah pernyataan Pemerintah SBY bertolak belakang dengan
realitas yang dirasakan masyarakat. Pemerintah pun berang dengan
tuduhan tersebut. Berbagai bantahan dilakukan termasuk mengundang
sejumlah tokoh agama untuk meluruskan tuduhan tersebut.
Apakah
pemerintah berbohong atau tidak bukan persoalan mendasar yang
seharusnya dikritik oleh para tokoh agama dan para aktivis. Fakta bahwa
di bawah sistem kapitalisme rezim SBY dan rezim-rezim sebelumnya
tidak mampu membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera semestinya
menjadi sorotan utama mereka.
Teramat
banyak kegagalan sistem kapitalisme baik dalam bidang pemerintahan,
politik luar negeri, hukum, ekonomi, dan pendidikan. Setidaknya ada
tujuh hal yang menunjukkan kegagalan tersebut terutama dalam bidang
ekonomi.
Pertama,
Pemerintah mengklaim bahwa PDB terus tumbuh positif dan diperkirakan
hingga 6 persen di tahun 2010. Padahal, inidikator makro tersebut
pada faktanya merupakan pertumbuhan nilai tambah sejumlah sektor
ekonomi yang bersifat agregat. PDB tidak pernah memperhitungkan siapa
yang memproduksi barang tersebut apakah asing atau penduduk
domestik, atau apakah pertumbuhan tersebut digerakkan oleh segelintir
orang saja atau oleh mayoritas masyarakat. Besarnya jumlah PDB sama
sekali tidak dapat menggambarkan kesejahteraan rakyat secara akurat.
Buktinya meski PDB terbesar Indonesia terbesar ke-18 di dunia
sebagiaman yang terus dibangga-banggakan oleh pemerintah, namun
indikator kesejahteraan Human Development Index (HDI) UNDP masih
menempatkan Indonesia pada urutan ke 108 dari 169 negara.
Kedua,
Pemerintah mengklaim penduduk miskin di Indonesia terus berkurang
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 jumlahnya mencapai 13,3% atau 31
juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk miskin menurut
Pemerintah adalah penduduk yang pengeluaran perbulannya di bawah
garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Pada 2010 nilanya Rp
211,726 perkapita perbulan. Dengan kata lain, jika seseorang
berpendapatan Rp 220,000 maka ia tidak lagi dikategorikan sebagai
orang miskin. Padahal dalam kehidupan materialisme seperti saat ini
dimana hampir seluruhnya diukur dengan materi, pendapatan tersebut
tentu sangat kecil. Wajar jika dalam realitas banyak orang yang
mengalami kesulitan di bidang ekonomi namun tidak masuk dalam
kategori miskin. Jika standarnya kemiskinan dinaikkan menjadi US$
2/hari atau dibawah Rp 540,000 maka dengan menggunakan data Susenas
2010, sebanyak 63% penduduk Indonesia miskin. Pembanding lain,
berdasarkan Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung
Tunai (BLT) oleh BPS tahun 2008 diperkirakan 70 juta orang yang masuk
kategori miskin dan hampir miskin (near poor). Angkanya lebih tinggi
lagi jika dilihat dari penduduk yang membeli beras miskin pada 2009
yang mencapai 52 persen atau 123 juta orang.
Ketiga,
Pemerintah juga mengklaim bahwa pelayanan di bidang kesehatan juga
telah mampu memberikan jaminan kesehatan pada masyarakat miskin.
Padahal berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasoinal 2009, hanya 44
persen penduduk di Indonesia yang melakukan obat jalan baik ke RS
Pemerintah, RS swasta maupun ke Puskesmas atau klinik. Sebagian besar
dari mereka justru melakukan pengobatan sendiri. Meski tidak ada
rincian mengenai alasan mereka, namun sebagian dari mereka tentu
merupakan orang-orang yang tidak mampu menjangkau layanan kesehatan
yang bersifat komersil. Kalaupun orang-orang miskin mendapatkan
pelayanan kesehatan gratis melalui Jamkesmas atau Kartu Miskin
jumlahnya masih sangat kecil yakni sebesar 16,7 persen. Selain itu
banyak dari penerima pelayanan kesehatan gratis tersebut tetap
terbebani karena masih harus membayar berbagai biaya dari pelayanan
kesehatan yang mereka dapatkan dan harus melakukan proes administrasi
yang rumit dan berbelit-belit. Akibatnya, banyak penduduk yang
menderita berbagai penyakit namun karena tidak mampu berobat dan tidak
mampi mengurus pelayanan kesehatan gratis terpaksa terus menanggung
penyakit mereka hingga tidak sedikit dari mereka yang meninggal dunia.
Keempat,
Pemerintah juga kerap berbangga bahwa 20% dari APBN disalurkan untuk
sektor pendidikan. Padahal dalam kenyataannya masih sangat melimpah
anak usia sekolah yang tidak mampu mengecap bangku pendidikan yang
masih teramat mahal bagi mereka. Betul bahwa sebagian besar penduduk
usia SD telah mengecap pendidikan, namun di tingkat SMP dan SMU
jumlahnya masih sangat rendah yang masing-masing sebesar 67 persen dan
45 persen (Susenas, 2009). Penyebab rendahnya partisipasi tersebut
tidak lain karena keterbatasan biaya yang mereka miliki serta sarana
pendidikan yang disediakan pemerintah yang belum memadai. Belum lagi
isi kurikulum yang terbukti menyebabkan anak didik menjadi sangat
sekuler sehingga jauh dari nilai-nilai Islam. Tidak heran jika
berbagai tindak kejahatan seperti korupsi yang berkembang luas di
tengah-tengah masyarakat justru banyak dilakukan oleh orang-orang
terdidik.
Kelima,
Pemerintah juga sering membanggakan penurunan jumlah angka
pengangguran. Dari data statistik Tenaga Kerja BPS memang menunjukkan
penurunan jumlah pengangguran secara persisten hingga menjadi 7,14%
atau 8,3 juta angkatan kerja. Padahal jika dicermati definisi tenaga
kerja yang digunakan oleh BPS jumlah tenaga kerja tersebut hanya
memotret mereka yang berkerja minimal satu jam perhari dalam seminggu
terakhir. Termasuk pula mereka yang membantu bekerja namun tidak
dibayar. Dengan demikian, para pengatur lalu lintas ’swasta’, atau
kuli yang bekerja minimal sejam perhari dalam satu minggu terakhir
disebut sebagai tenaga kerja. Dengan kriteria demikian, maka sangat
wajar jika angka penggangguran diklaim terus menurun namun tingkat
kesejahteraan rakyat tidak membaik. Apalagi seiring dengan kegagalan
pemerintah mengendalikan inflasi khususnya administered inflation
(barang yang harganya diatur oleh pemerintah) seperti BBM dan TDL dan
volatile inflation (inflasi barang yang bergejolak) seperti pangan,
membuat pendapatan riil mereka yang bekerja terus menurun. Harga-harga
membumbung tinggi sementara pendapatan nomil tidak berubah.
Keenam,
Pemerintah juga mengklaim bahwa utang negara terus berkurang. Rasio
utang terhadap PDB menurun hingga 26%. Terlepas dari perdebatan
mengenai kepantasan menggunakan PDB sebagai alat ukuran besaran utang,
namun yang pasti nominal utang Indonesia dari tahun ke tahun terus
membengkak. Per Desember 2010 misalnya berdasarkan Data Departemen
Keuangan, total utang pemerintah Indoneisa mencapai Rp 1675 triliun.
Akibatnya APBN yang semestinya dialokasikan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat justru 20 persennya (Rp249 dari Rp1,230 triliun)
terkuras untuk membayar pokok utang dan bunganya. Angka ini melampaui
anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan berbagai bentuk subsidi
seperti pangan, pupuk, listrik dan BBM.
Ketujuh
Neraca Perdagangan Indonesia juga diklaim terus mengalami peningkatan
oleh Pemerintah. Bahkan, nilai ekspor Oktober 2010 disebut-sebut
paling tinggi dalam sejarah Indonesia yang menembus US$14 miliar.
Memang ekspor Indonesia masih lebih besar daripada impornya. Namun
demikian komoditas utama yang diekspor oleh Indonesia merupakan hasil
sumber daya alam yang berbentuk bahan mentah atau setengah jadi.
Mirip-mirip pada era kolonial, di mana Indonesia menjadi pengekspor
utama rempah-rempah ke Eropa. Bedanya komoditas ekpsor kini lebih
banyak bahan baku energi seperti migas, batu bara, bij besi, nikel dan
minyak sawit. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu menjadi
negara industri yang dapat mengoptimalkan bahan baku tersebut untuk
kegiatan industri yang menghasilkan nilai tambah yang lebih besar.
Selain itu, komoditas sumber daya alam tersebut sebagian besar
merupakan kekayaan milik umum yang dalam pandangan Islam seharusnya
dikuasai oleh negara. Namun karena negara ini menganut sistem
kapitalisme, kekayaan yang diperoleh dari penjualan tersebut justru
lebih banyak dinikmati oleh para pengusaha swasta termasuk perusahaan
asing-asing.
Walhasil
rakyat Indonesia betul-betul menderita hidup dengan aturan
kapitalisme sekuler. Semestinya kegagalan sistem kapitalisme dalam
mensejahterahkan rakyat dengan penuh keberkahan tidak perlu terus
berulang lagi jika rakyat Indonesia mau menjalankan tatanan kehidupan
Islam yang sejalan dengan tuntunan aqidah mereka yakni sistem Khilafah
Islam. Wallahu a’lam bishawab (Dr .Arim Nasim, Ketua Lajnah Mashlahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
0 comments:
Posting Komentar